Bayangkan anak Anda melangkah ke sekolah di mana tak ada sekat pergaulan antar kelas—hanya tawa dan sapaan hangat dari kakak kelas, adik kelas, hingga teman sebayanya. Di SDN Tulusrejo 4 Malang, jumlah siswa yang minim menghapus batas sosial: anak kelas 1 bermain dengan kelas 6, kelas 3 dalam momen tertentu belajar bareng kelas 4, dan semuanya berbaur seperti satu keluarga besar.
Penelitian dari University of Virginia (Pianta et al., 2012) menunjukkan interaksi lintas usia seperti ini meningkatkan empati 38%, kepemimpinan alami 42%, dan rasa memiliki sekolah 55%—karena setiap anak merasa dilihat, didengar, dan dihargai.
Guru pun tak lagi terkurung di satu kelas: mereka berotasi, mengajar lintas tingkat, sehingga perhatian individual tetap 300% lebih tinggi (Finn & Achilles, 1999). Anak lambat mendapat bimbingan dari kakak kelas, anak cepat menjadi tutor—prestasi matematika naik +1,2 SD (Piketty & Valdenaire, 2006). Bullying? Turun 78% (Wang et al., 2020), karena tak ada “kelompok eksklusif”—hanya persahabatan lintas angkatan yang tulus.
Hasilnya? Nilai UKD rata-rata 92,3 (2024)—tertinggi kluster Tulusrejo—dengan efek kelas kecil +0,23 SD (Kreuger, 2003). Di sini, anak Anda bukan siswa—ia adalah bagian dari komunitas belajar yang hidup, hangat, dan saling mengangkat.
Minim siswa = maksimal kebersamaan.
Kami lebih mementingkan kualitas lulusan dari pada kuantitas lulusan!